Resensi
Buku
Pengarang : Ngarto
Februana
Judul : Menolak Panggilan Pulang
Tahun Terbit : 1 JULY 2000
Isi : Menolak Panggilan Pulang berbicara
tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan Selatan.
Disebut "tanah terasing" karena wilayah itu dapat dikatakan
terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya, seperti dilukiskan dalam novel ini,
penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous religion, kepercayaan
setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh. Dikatakan
pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga Balai Bidukun panik.
Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan dari lubang-lubang
persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan bersorak gembira. Berpesta
pora minum darah korbannya yang tak berdaya, menunggu maut menjemput."
Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat penting dan menentukan
untuk memahami novel ini. Setting itu, kemudian, menjadi unsur pokok
pencipta suasana, yang bergerak, berkembang, secara dinamis dalam seluruh novel
itu. Bahkan sekaligus menjadi semacam vision du monde, jika mau meminjam
istilah Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang dibentuk dan
kemudian membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam novel itu.
Bagi
saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa wilayah ini
adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti diisyaratkan oleh
judul novel ini, yakni dalam artian "tanah pedalaman", semacam the
eart land, yang letaknya jauh dari wilayah pantai. Disebut terasing sebab
walaupun ada Sungai Amandit yang menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1,
sebagai sarana orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa
akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk
dipersoalkan, dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan antara
wilayah maju dan wilayah asli ini terjadi. Karenanya, keterasingan Desa
Malinau, yang menjadi latar tempat utama terasa tampak jelas. Pembaca bisa
membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan itu selembar taplak meja berwarna hijau
atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya yang basah atau bekas-bekas
bagian yang basah itu, dan tampak sangat mencolok, mungkin bahkan menggetarkan.
Karenanya, sebagai suatu construct pikiran, jika dipandang secara
struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri mendukung situasi keterasingan
Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat seluruh novel ini
tampak utuh.
Novel
ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang diderita
oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi awal dari seluruh
kisah, hingga novel ini berakhir.
Awal
novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay, terkena
penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu, menjadi
perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang berkerumun sempat sangat
cemas dengan penyakit yang diderita si bocah, sebab, "Ia tidak boleh
mati. Dialah pengganti ayahnya kelak" (hal. 4). Dilihat dari teori
penyutradaraan, sejak awal Utay sudah disiapkan menjadi fokus. Dan, tatkala
akhirnya Utay sembuh, semua orang bergembira dan mensyukuri karenanya, toh
penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal.
9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk desa itu,
bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat penting diperhatikan.
Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca, dipaksa untuk terus menikmati
novel ini sambil bercemas-cemas apa yang akan terjadi di desa itu. Ketiga,
walaupun penduduk setempat masih memegang teguh adat-istiadat setempat, namun
cukup merasa bangga kalau ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling
sedikit, sekolah dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah
satu-satunya anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar."
Wajah penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun,
tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay bisa
melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu. Mula-mula
dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan bahwa,
"Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau
ke kota." (hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa
diatur, Pak Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih lanjut. Keempat, melalui
narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira dua
puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang tenang dan damai
terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk, membabat pohon-pohon besar.
Perbukitan yang dilapisi dengan hutan belantara berubah jadi padang ilalang.
Binatang hutan seperti hirangan (kera besar berbulu hitam dan berekor
panjang), babi hutan, pelanduk, dan beruang menyingkir, mencari tempat yang
masih aman buat kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka
menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh penghulu,
"Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).
Utay,
anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun, "Aruni
dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar laporan itu, Kepala
Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan Utay dan Aruni, yang
sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan diperjodohkan, dianggap sebagai pamali,
yakni terlarang atau tabu. Pelanggaran ini akan kena murka roh leluhur
dan para Dewa. Bagaimana pula dengan kata orang nanti, jika kejadian ini sampai
menyebar: Putri Penghulu Jalay berciuman dengan putra Penghulu Bidukun!
(hal. 111). Pada titik ini, kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun,
berbeda dari perhatian pada awal kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama
diperhatikan itu bersifat simpati kepada si sakit, yang kedua, perhatian bersifat
kekecewaan, bahkan dianggap sebagai destruktif.
Akan
tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu terjadi di
sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni, tampak bahwa Utay,
sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda. Utay ingin bekerja di PT Rimba
Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan menolak permintaan gurunya, Pak Husein,
untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat," tukas
Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia kelak harus menggantikan
ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin orang lain"
(hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran sangat demokratis.
"Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang akan dipilih jadi
penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih" (hal. 94).
Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi, kalau kamu jadi
istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku nanti ditempatkan di
Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku ditempatkan di sana. Kamu pasti senang
tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak seperti di
Bukit. Primitif!" (hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat
"pengaruh orang kota! Pengaruh sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan
Aruni tentu saja sangat benar. Sekolah adalah agent of change. Jika
demikian, yang dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang benar. Mungkin, alasan ia
tidak menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan
bolak-balik Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang lebih
dalam lagi yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya seluruh jagad
Malinau, karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di Malinau akan gonjang-ganjing,
langit akan kelap-kelap katon lir gincanging aris, Sungai Amandit akan
kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan manggut-manggut, dan sabarang
dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa
itu adalah zaman edan, sementara bagi mereka yang paham akan apa yang
disebut masyarakat akan melihatnya sebagai perubahan sosial. Dan perubahan
masyarakat itu, seperti sudah dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat
kontak-kontak dengan kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.
Karena
itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan penebangan
membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian dari
gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan fisik;
sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran wawasan. Novel
ini terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam itu justru dipelopori
oleh Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri. Karena itu, sebagai pembaca,
saya merasakan betapa getirnya yang dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan
cemas tatkala Utay sakit, seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah
menjadi kejengkelan luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa
anak itu tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka"
bagi desa adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan,
tatkala pulang ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo,
sayangku!"
Sangat
jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di Kandangan. Di
kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang menarik, mungkin cara
Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan yang sedikit over acting, sehingga
menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali berkenalan dengan
kebudayaan baru.
Pada
titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru bersikap
over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras dengan cultural
resistance-nya. Bayangkan saja, jika ia kemudian datang lagi ke desanya
dengan jeep Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat mencolok, Jeep
itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah mengherankan jika Anak-anak
berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka mengagumi kendaraan modern itu.
(hal. 124).
Tidaklah
mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak dewa. Gagah dan
tampan (hal. 124).
Dalam
pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara ayah dan
anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan itu bukan sekadar
masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat dari wawasan yang berbeda.
Utay dan tiga orang temannya ingin menanam sengon, akasia, sungkai; sementara
Penghulu menghendaki agar tanah ditanami padi dan cabai. Persoalannya bagi Utay
bahwa sengon, secara ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi, Bah, ini
menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi Utay
sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.
Bagi
Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan secukupnya
yang berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay, Penghulu
marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal. 127).
Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan
masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan
"kefilsafatan" yang menjadi roh di belakangnya.
Apa
yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay pada
sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti dilukiskan oleh
Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern, teknologi
maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia dari kungkungan
legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan, pendidikan membebaskan
manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang perlu dipersoalkan, aspek
manakah dari teknologi maju yang mampu membebaskan manusia dari padangan
takhayul itu? Teknologinya sendiri yang berarti kemampuan skill, keterampilan,
atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?
"Jangan!
Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh nenek
moyang!"
Utay
berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal 96).
Kutipan
ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan dengan
kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu. Namun, sebenarnya,
masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan pertimbangan akan hukum adat,
naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini artinya, hukum adat berhadapan dengan
hal-hal yang sifatnya naluri manusia. Kedua, Aruni yang semula menangis,
setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal 96). Tampaknya,
pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan dorongan alamiah
manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra Inggris, orang bisa
membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967) yang berjudul Lady
Chaterley's Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav
Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah
novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi
sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna
Karenina. Novel-novel kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan
adat plus larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah
manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang itu,
dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi
moral-religius dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan alasan bahwa
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel dimaksud adalah
melanggar moral agama, sebenarnya, tersirat juga nuansa mempertahankan
kemurnian kelas sosial, agar tetap terpandang sebagai kelompok masyarakat
terhormat. Nuansa demikian juga tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan
berciuman di sungai (hal 96) dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok
yang dikenakan Aruni. Gadis itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay
menindihnya (hal. 131) adalah tindakan terkutuk oleh adat, yang akan
dapat menimbulkan amarah para Dewa, dan sekaligus akan meruntuhkan kedudukan
derajat dan kehormatan orang tua mereka sebagai penghulu.
Ini
artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis didorong
dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi dan wawasan
ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran alamiah manusiawi.
Penerbit : CV
Media Pressindo, Yogyakarta
Keunggulan : bahwa pada novel ini menceritakan tentang tentang
seorang anak mampu meneruskan tugas dan kewajiban orang tua nya, kebudayaan
pada novel ini pun sangat menarik karena menceritakan ada nya rol halus pada
wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan Selatan.
Kekurangan : mungkin untuk kekurangan nya pada novel ini
sangat sederhana tetapi, bahasa biasa-biasa itu, dalam pengalaman pembacaan,
sangat engaging, memikat, setidaknya bagi saya.
Sinopsis : Anak penghulu itu kelak
meneruskan tugas dan kewajiban ayahnya jika sang ayah meninggal. Tetapi, ketika
11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga mencemaskan seluruh warga Balai
Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari kota membawanya ke Kandangan untuk
disekolahkan.
Maka,
ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai yang tentu berbeda dengan
di Bukit, yang modern, yang tidak primitif, dan yang akhirnya meluruhkan
nilai-nilai kesetiaan kepada adat tanah leluhurnya, termasuk melupaka sumpah
bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi kepada Bidukun. Jika ia
melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara adat. Tetapi cintanya kepada
putri Kepala Suku Balai Jalay, Aruni, tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh
batinnya penuh kontradiksi. Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu--saat
itu jalan tembus sudah dibangun-- ia ingin memboyong Aruni ke kota,
meninggalkan Malinu yang tetap terasing. Tetapi sang gadis pujaan tak hendak
lepas dari kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi kepada suku Bukit, untuk membebaskan
dari keterasingan, keterpencilan, kebodohannya, tetapi tidak meninggalkan
nilai-nilai adat suku Bukit.
Dan,
demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan tanaman industri agar
mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam sejuta pohon sengon. "Tapi kami
tak perlu sengon. Kami tak biasa menanam pohon itu, kami hanya menanam padi.
Jangan paksa kami," tolak warga Malinu.
Segalanya
berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay berkeras membela PT Rimba
Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua dilakukan demi ambisi meski harus
mengorbankan sukunya sendiri. Maka, semuanya berakhir pada api yang berkobar,
membakar seisi desa, dan Utay melarikan diri.... Bagaimana dengan Aruni yang
ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu merupakan pelanggaran adat yang
paling besar dan mesti menerima kutukan dewa dan roh leluhur?
http://www.oocities.org/ngartofebruana/novel.htm
0 komentar:
Posting Komentar