Minggu, Juni 09, 2013

Resensi Buku




Resensi Buku
Pengarang    : Ngarto Februana

Judul              : Menolak Panggilan Pulang

Tahun Terbit : 1 JULY 2000

Isi                    :  Menolak Panggilan Pulang berbicara tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan Selatan. Disebut "tanah terasing" karena wilayah itu dapat dikatakan terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya, seperti dilukiskan dalam novel ini, penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh. Dikatakan pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga Balai Bidukun panik. Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan dari lubang-lubang persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan bersorak gembira. Berpesta pora minum darah korbannya yang tak berdaya, menunggu maut menjemput." Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat penting dan menentukan untuk memahami novel ini. Setting itu, kemudian, menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak, berkembang, secara dinamis dalam seluruh novel itu. Bahkan sekaligus menjadi semacam vision du monde, jika mau meminjam istilah Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang dibentuk dan kemudian membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam novel itu.
Bagi saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa wilayah ini adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti diisyaratkan oleh judul novel ini, yakni dalam artian "tanah pedalaman", semacam the eart land, yang letaknya jauh dari wilayah pantai. Disebut terasing sebab walaupun ada Sungai Amandit yang menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1, sebagai sarana orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk dipersoalkan, dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan antara wilayah maju dan wilayah asli ini terjadi. Karenanya, keterasingan Desa Malinau, yang menjadi latar tempat utama terasa tampak jelas. Pembaca bisa membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan itu selembar taplak meja berwarna hijau atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya yang basah atau bekas-bekas bagian yang basah itu, dan tampak sangat mencolok, mungkin bahkan menggetarkan. Karenanya, sebagai suatu construct pikiran, jika dipandang secara struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri mendukung situasi keterasingan Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat seluruh novel ini tampak utuh.
Novel ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang diderita oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi awal dari seluruh kisah, hingga novel ini berakhir.
Awal novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay, terkena penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu, menjadi perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang berkerumun sempat sangat cemas dengan penyakit yang diderita si bocah, sebab, "Ia tidak boleh mati. Dialah pengganti ayahnya kelak" (hal. 4). Dilihat dari teori penyutradaraan, sejak awal Utay sudah disiapkan menjadi fokus. Dan, tatkala akhirnya Utay sembuh, semua orang bergembira dan mensyukuri karenanya, toh penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal. 9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk desa itu, bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat penting diperhatikan. Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca, dipaksa untuk terus menikmati novel ini sambil bercemas-cemas apa yang akan terjadi di desa itu. Ketiga, walaupun penduduk setempat masih memegang teguh adat-istiadat setempat, namun cukup merasa bangga kalau ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling sedikit, sekolah dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah satu-satunya anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar." Wajah penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun, tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay bisa melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu. Mula-mula dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan bahwa, "Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau ke kota." (hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa diatur, Pak Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih lanjut. Keempat, melalui narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira dua puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang tenang dan damai terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk, membabat pohon-pohon besar. Perbukitan yang dilapisi dengan hutan belantara berubah jadi padang ilalang. Binatang hutan seperti hirangan (kera besar berbulu hitam dan berekor panjang), babi hutan, pelanduk, dan beruang menyingkir, mencari tempat yang masih aman buat kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh penghulu, "Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).
Utay, anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun, "Aruni dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar laporan itu, Kepala Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan Utay dan Aruni, yang sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan diperjodohkan, dianggap sebagai pamali, yakni terlarang atau tabu. Pelanggaran ini akan kena murka roh leluhur dan para Dewa. Bagaimana pula dengan kata orang nanti, jika kejadian ini sampai menyebar: Putri Penghulu Jalay berciuman dengan putra Penghulu Bidukun! (hal. 111). Pada titik ini, kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun, berbeda dari perhatian pada awal kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama diperhatikan itu bersifat simpati kepada si sakit, yang kedua, perhatian bersifat kekecewaan, bahkan dianggap sebagai destruktif.
Akan tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu terjadi di sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni, tampak bahwa Utay, sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda. Utay ingin bekerja di PT Rimba Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan menolak permintaan gurunya, Pak Husein, untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat," tukas Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia kelak harus menggantikan ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin orang lain" (hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran sangat demokratis. "Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang akan dipilih jadi penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih" (hal. 94). Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi, kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku nanti ditempatkan di Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku ditempatkan di sana. Kamu pasti senang tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak seperti di Bukit. Primitif!" (hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat "pengaruh orang kota! Pengaruh sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan Aruni tentu saja sangat benar. Sekolah adalah agent of change. Jika demikian, yang dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang benar. Mungkin, alasan ia tidak menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan bolak-balik Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang lebih dalam lagi yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya seluruh jagad Malinau, karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di Malinau akan gonjang-ganjing, langit akan kelap-kelap katon lir gincanging aris, Sungai Amandit akan kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan manggut-manggut, dan sabarang dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa itu adalah zaman edan, sementara bagi mereka yang paham akan apa yang disebut masyarakat akan melihatnya sebagai perubahan sosial. Dan perubahan masyarakat itu, seperti sudah dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat kontak-kontak dengan kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.
Karena itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan penebangan membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian dari gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan fisik; sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran wawasan. Novel ini terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam itu justru dipelopori oleh Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri. Karena itu, sebagai pembaca, saya merasakan betapa getirnya yang dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan cemas tatkala Utay sakit, seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah menjadi kejengkelan luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa anak itu tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka" bagi desa adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan, tatkala pulang ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo, sayangku!"
Sangat jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di Kandangan. Di kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang menarik, mungkin cara Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan yang sedikit over acting, sehingga menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali berkenalan dengan kebudayaan baru.
Pada titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru bersikap over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras dengan cultural resistance-nya. Bayangkan saja, jika ia kemudian datang lagi ke desanya dengan jeep Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat mencolok, Jeep itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah mengherankan jika Anak-anak berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka mengagumi kendaraan modern itu. (hal. 124).
Tidaklah mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak dewa. Gagah dan tampan (hal. 124).
Dalam pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara ayah dan anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan itu bukan sekadar masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat dari wawasan yang berbeda. Utay dan tiga orang temannya ingin menanam sengon, akasia, sungkai; sementara Penghulu menghendaki agar tanah ditanami padi dan cabai. Persoalannya bagi Utay bahwa sengon, secara ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi, Bah, ini menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi Utay sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.
Bagi Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan secukupnya yang berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay, Penghulu marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal. 127). Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan "kefilsafatan" yang menjadi roh di belakangnya.
Apa yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay pada sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti dilukiskan oleh Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern, teknologi maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia dari kungkungan legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan, pendidikan membebaskan manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang perlu dipersoalkan, aspek manakah dari teknologi maju yang mampu membebaskan manusia dari padangan takhayul itu? Teknologinya sendiri yang berarti kemampuan skill, keterampilan, atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?
"Jangan! Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh nenek moyang!"
Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal 96).
Kutipan ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan dengan kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu. Namun, sebenarnya, masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan pertimbangan akan hukum adat, naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini artinya, hukum adat berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya naluri manusia. Kedua, Aruni yang semula menangis, setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal 96). Tampaknya, pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan dorongan alamiah manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra Inggris, orang bisa membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967) yang berjudul Lady Chaterley's Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna Karenina. Novel-novel kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan adat plus larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang itu, dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi moral-religius dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan alasan bahwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel dimaksud adalah melanggar moral agama, sebenarnya, tersirat juga nuansa mempertahankan kemurnian kelas sosial, agar tetap terpandang sebagai kelompok masyarakat terhormat. Nuansa demikian juga tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan berciuman di sungai (hal 96) dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok yang dikenakan Aruni. Gadis itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay menindihnya (hal. 131) adalah tindakan terkutuk oleh adat, yang akan dapat menimbulkan amarah para Dewa, dan sekaligus akan meruntuhkan kedudukan derajat dan kehormatan orang tua mereka sebagai penghulu.
Ini artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis didorong dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi dan wawasan ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran alamiah manusiawi.

Penerbit         : CV Media Pressindo, Yogyakarta
Keunggulan : bahwa pada novel ini menceritakan tentang tentang seorang anak mampu meneruskan tugas dan kewajiban orang tua nya, kebudayaan pada novel ini pun sangat menarik karena menceritakan ada nya rol halus pada wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan Selatan.
Kekurangan  : mungkin untuk kekurangan nya pada novel ini sangat sederhana tetapi, bahasa biasa-biasa itu, dalam pengalaman pembacaan, sangat engaging, memikat, setidaknya bagi saya.
Sinopsis        : Anak penghulu itu kelak meneruskan tugas dan kewajiban ayahnya jika sang ayah meninggal. Tetapi, ketika 11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga mencemaskan seluruh warga Balai Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari kota membawanya ke Kandangan untuk disekolahkan.
Maka, ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai yang tentu berbeda dengan di Bukit, yang modern, yang tidak primitif, dan yang akhirnya meluruhkan nilai-nilai kesetiaan kepada adat tanah leluhurnya, termasuk melupaka sumpah bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi kepada Bidukun. Jika ia melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara adat. Tetapi cintanya kepada putri Kepala Suku Balai Jalay, Aruni, tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh batinnya penuh kontradiksi. Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu--saat itu jalan tembus sudah dibangun-- ia ingin memboyong Aruni ke kota, meninggalkan Malinu yang tetap terasing. Tetapi sang gadis pujaan tak hendak lepas dari kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi kepada suku Bukit, untuk membebaskan dari keterasingan, keterpencilan, kebodohannya, tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai adat suku Bukit.
Dan, demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan tanaman industri agar mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam sejuta pohon sengon. "Tapi kami tak perlu sengon. Kami tak biasa menanam pohon itu, kami hanya menanam padi. Jangan paksa kami," tolak warga Malinu.
Segalanya berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay berkeras membela PT Rimba Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua dilakukan demi ambisi meski harus mengorbankan sukunya sendiri. Maka, semuanya berakhir pada api yang berkobar, membakar seisi desa, dan Utay melarikan diri.... Bagaimana dengan Aruni yang ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu merupakan pelanggaran adat yang paling besar dan mesti menerima kutukan dewa dan roh leluhur?









http://www.oocities.org/ngartofebruana/novel.htm
 

Saldeath Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet © 2008 | Free Blogger Theme | Free Ebooks